SURABAYA - Beberapa elit politik kembali mengudarakan upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo, kali ini melalui penundaan pemilu. Argumentasi yang mendasari wacana itu adalah pemulihan ekonomi dan pandemi COVID-19. Untuk mengkaji wacana tersebut lebih lanjut, tim redaksi mewawancarai Pakar Hukum Pemilu UNAIR Dr. M. Syaiful Aris pada Selasa (8/3/2022).
Aris mengatakan bahwa secara ketatanegaraan, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945). Sementara untuk presiden dan wakil presiden sendiri menurut Pasal 7, mereka memegang jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jawaban.
“Jadi secara normatif, penyelenggaraan pemilu dan presiden hanya menjabat selama dua periode itu merupakan suatu kewajiban konstitusional yang tidak boleh dilanggar, ” ujar Wakil Dekan II FH UNAIR itu.
Aris menekankan bahwa wacana penundaan pemilu tidak memiliki argumentasi yang relevan dan mengkhianati amanat konstitusi. Menurutnya, Indonesia telah memiliki sistem dan konstitusionalitas pemilu yang mapan. Ia menambahkan bahwa penundaan pemilu dalam sejarah Indonesia hanya pernah dilaksanakan sekali, yakni Pemilu 1945 yang ditunda hingga tahun 1955.
“Kondisinya kala itu memang kita baru merdeka dan masih sering mendapatkan agresi militer dari pasukan sekutu. Jadi wajar menurut saya untuk menunda pemilu. Nah, kalau sekarang kan kondisinya tidak seperti itu, ” tutur alumni University of California itu.
Wacana ini menurut Aris dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan pemerintah di Indonesia. Esensi penyelenggaraan pemilu adalah dasar legitimasi kekuasaan pemerintah dari masyarakat. Ia menambahkan bahwa harapannya adalah, pemerintah memiliki legitimasi kuat dari masyarakat untuk menjalankan pemerintahan.
“Kekhawatirannya adalah wacana ini dapat memunculkan deligitimasi dari publik apabila direalisasikan. Itu kan bahaya, karena ia mendorong ketidakpercayaan publik. Apalagi penundaan pemilu itu tidak memiliki argumentasi yuridis dan teknis, ” ujar mantan Direktur LBH Surabaya itu.
Menurut lektor tersebut, karakteristik suatu kepemiluan itu erat dengan kondisi kenegaraan pada saat penyelenggaraannya. Ia mencontohkan bagaimana berbedanya tingkat kebebasan dan legitimasi pemilu di Indonesia era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Orde Baru, dan era Reformasi. Dalam konteks Pilpres 2019 dan Pilpres 2024 nanti, ia mengatakan bahwa proses demokrasi di Indonesia sudah on the track.
“Memang ada beberapa aspek pelaksanaan yang harus kita sempurnakan, tetapi hendaknya itu tidak merubah prinsip dasar. Namun apabila wacana ini dibiarkan, maka takutnya akan menurunkan indeks demokrasi Indonesia. Selain itu pilihan yang salah dalam penyelenggaraan negara, dampaknya juga panjang, ” tambahnya.
Aris menutup wawancaranya dengan memberikan analogi pergantian kekuasaan dengan pergantian air kolam renang. Air kolam renang apabila tidak diganti maka akan mengendap dan dapat memiliki bibit penyakit yang tinggi, maka harus diganti secara berkala. Ia menambahkan bahwa hal itu dapat diaplikasikan dalam kekuasaan. Apabila tidak berganti secara berkala, maka akan muncul bibit penyakit berupa penyalahgunaan kekuasaan. (**)