SURABAYA - Kabar tentang ditetapkannya anak kiai Jombang dengan inisial MSAT dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kasus Pencabulan menghebohkan publik. Terlebih ketika ratusan santri menjadi simpatisan untuk melindungi MSAT dari jemput paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Berkaitan dengan hal itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Taufik Rachman SH LLM PhD, menyampaikan bahwa tindakan untuk menghalang-halangi, menyembunyikan, menutupi, mempersulit proses penangkapan, penyidikan yang sah disebut obstruction of justice. Tindakan itu memiliki ancaman pidana hingga maksimal sembilan bulan yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pertama dan kedua.
Selain itu, Taufik juga menjelaskan lebih lanjut tentang perlindungan hukum bagi korban dan saksi hingga pendampingan dan pemulihan korban dan saksi. Menurut Taufik, adanya perlindungan, pendampingan, dan pemulihan ini diharapkan korban dan saksi lebih berani untuk menyuarakan kebenaran guna menegakkan keadilan.
Perlindungan Hukum Korban dan Saksi
“Perlindungan hukum terhadap korban dan saksi sebetulnya sudah ada. Bahkan yang terbaru ada pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Akan tetapi karena kasus ini terjadi pada tahun 2017, otomatis peraturan perundang-undangan yg diberlakukan tentu yang berlaku pada saat kejadian. Salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ” jelas Taufik, Selasa (26/7/2022).
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Taufik Rachman SH LLM PhD
Taufik juga menjabarkan lebih lanjut bahwa hak-hak korban dan saksi dalam kasus ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diperbarui dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang memberikan perlindungan terhadap keamanan pribadi, keluarga, harta bendanya, bebas dari ancaman, dan lain sebagainya.
Selanjutnya guna menangani kekerasan seksual di Indonesia, juga telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang memiliki tugas untuk memberikan perlindungan kepada korban dan saksi pidana.
Pendampingan dan Pemulihan Korban dan Saksi
Akan tetapi, Taufik menilai bahwa terdapat masalah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebab, sesuai Pasal 6, hanya korban pelanggaran HAM berat yang dapat memperoleh bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial.
Terlebih Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mengecualikan korban tindak pidana untuk mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan secara gratis.
“Sehingga, satu-satunya jalan yang mungkin bisa ditempuh ialah korban mengajukan hak restitusi atau ganti kerugian kepada pengadilan melalui LPSK. Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU LPSK (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Red), ” jelas Taufik.
Kemudian, Taufik juga menjelaskan bahwa korban bisa meminta bantuan hukum secara cuma-cuma kepada advokat. Termasuk, mengurus permohonan bantuan kepada LPSK dan advokat wajib membantunya. “Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ” terangnya. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh