Pakar UNAIR Sebut Kebijakan JHT Jamsostek Picu Proses Kemiskinan

    Pakar UNAIR Sebut Kebijakan JHT Jamsostek Picu Proses Kemiskinan
    Prof Dr Sutinah Dra MS, Pakar Sosiologi Industri UNAIR. (Foto: dokumen pribadi)

    SURABAYA - Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah baru saja membuat kebijakan baru dalam aturan pencairan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) Jamsostek, penerima manfaat hanya dapat mencairkan di usia 56 tahun sampai meninggal.

    Menanggapi hal itu, Prof Dr Sutinah Dra MS menyoroti bahwa aturan tersebut kurang tepat. Terlebih mengingat saat ini kita masih berada di situasi pandemi. “Karena di masa pandemi, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, ” ucap Guru Besar Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR) tersebut.

    Melalui Permenaker yang baru itu, Prof Sutinah, Rabu (23/2/2022) mengatakan hal itu justru akan menyulitkan pekerja. “Mengingat sebagian besar pekerja yang kehilangan pekerjaannya itu usianya masih muda, jauh di bawah 56 tahun. Namun mereka belum bisa mendapatkan penghasilan yang terjamin sampai usianya menginjak 56 tahun, ” imbuhnya.

    Berkaca dari kondisi tersebut, maka pencairan Jamsostek akan membutuhkan waktu yang lama. Padahal menurut Prof Sutinah, dana Jamsostek dapat bermanfaat sebagai modal untuk membuka usaha sebagai mekanisme untuk bertahan hidup. Ketika tidak lagi bekerja di perusahaan masing-masing, pekerja tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha mandiri.

    “Dana Jamsostek itu diberikan sebanyak satu kali, dalam jumlah tertentu. Bagi para pekerja, mungkin dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai salah satu mekanisme survival, sehingga mereka masih bisa mempertahan hidup bersama keluarganya  sudah tidak menjadi pekerja, ” jelas Prof Sutinah.

    Menambah Kemiskinan

    “Terlalu lama waktu tunggu untuk pencairan Jamsostek ini. Karena mestinya bahwa dana itu bisa dipakai untuk strategi pekerja dalam bertahan hidup. Dalam Sosiologi, hal ini dapat memicu proses pemiskinan, ” tutur Prof Sutinah.

    Aturan baru Jamsostek ini membuat pekerja miskin akan semakin miskin. Karena apabila ia tidak lagi bekerja di masa pandemi ini maka harus menunggu lama untuk dapat mencairkan Jamsostek. Lebih-lebih bila selama menunggu tidak ada kegiatan yang menghasilkan. 

    “Sementara kita lihat bahwa saat ini kebutuhan masyarakat meningkat dan harga di pasaran serba mahal, sehingga   pekerja tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya, ” lanjut Pakar Sosiologi Industri tersebut.

    JKP Tidak Bisa Menjadi Solusi

    Meski pemerintah akan mengeluarkan kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun itu tidak sepenuhnya bisa menjadi solusi. JKP, hanya untuk pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

    “Kalau untuk pekerja yang mengundurkan diri, tidak bisa menerima JKP. Selain itu, pekerja yang mengalami sakit cacat tetap karena kecelakaan kerja, juga tidak bisa mendapat bantuan tersebut, ” terang Prof Sutinah.

    Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

    Editor: Khefti Al Mawalia

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Prodi Teknik Elektro UB Raih Akreditasi...

    Artikel Berikutnya

    Pakar Vulkanologi UB Bekali Mahasiswa School...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami