Dekan FH UNAIR Paparkan Inisiatif Pajak Karbon Pemerintah dalam Konferensi EBT

    Dekan FH UNAIR Paparkan Inisiatif Pajak Karbon Pemerintah dalam Konferensi EBT
    Iman Prihandono SH MH LLM Ph D, dalam Konferensi EBT FH UNAIR, Rabu (29/06/2022). (Foto: Dokumentasi Pribadi)

    SURABAYA - Ide mengenai pajak karbon tampaknya tidak lagi menjadi buzzword di kalangan pemerintah dan masyarakat dunia. Pasalnya, pemerintah Indonesia kini juga mulai memasukkan pajak karbon sebagai salah satu kebijakan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Semula direncanakan pada 1 April 2022, penerapan pajak karbon kemudian diundur hingga 1 Juli 2022.

    Iman Prihandono SH MH LLM PhD sebagai dekan dari salah satu fakultas terbaik dalam negeri yaitu Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) turut angkat bicara. Bersama Cenuk Widiyastrisna Sayekti PhD, salah seorang dosen dari FH UNAIR pula, keduanya mengangkat tema penelitian Pajak Karbon dan Mitigasi Climate Change.

    Dalam Konferensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang diselenggarakan oleh FH UNAIR, Iman memaparkan kehendaknya untuk mencari tahu apakah pajak karbon memang efektif untuk menekan emisi karbon.

    “Diskursus pajak karbon ini penting apalagi mengingat Indonesia memasuki era industrialisasi besar. Kita tidak mungkin selamanya bergantung kepada sumber daya alam, misalnya saja seperti batubara, ” ujar Iman.

    Ilustrasi pajak karbon. (Foto: Komitmen Iklim)

    Pakar hukum bisnis dan hak asasi manusia (HAM) tersebut membuka dengan dampak kerugian yang bisa ditimbulkan oleh krisis iklim terhadap Indonesia. Indonesia saat ini telah berkomitmen dalam kesepakatan Paris dan juga tergerak untuk memformulasikan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk memitigasi dampak perubahan iklim.

    Persoalannya, skenario tertentu berpotensi untuk meningkatkan suhu bumi bahkan melebihi 1, 5 derajat Celcius. Salah satu emiten terbesar adalah berasal dari sektor industri. Dikarenakan perbedaan kontribusi antara satu usaha dengan usaha lainnya, disinilah pajak karbon dapat membantu.

    “Pajak karbon merujuk pada pergeseran objek pajak penghasilan ke objek pajak atas aktivitas yang menimbulkan eksternalitas negatif terhadap lingkungan, ” ucap Iman. Sederhananya, perusahaan yang menghasilkan emisi karbon lebih sedikit daripada standar yang ditetapkan pemerintah, bisa menjual sisa ‘jatah karbon’ ke perusahaan yang menghasilkan karbon melebihi standar.

    Iman menambahkan bahwa pajak karbon sebetulnya sudah diatur dalam undang-undang (UU), yaitu UU No. 7 Tahun 2021. Dalam UU tersebut diatur bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak pada lingkungan hidup. Pajak ini dapat dikenakan pada individu maupun korporasi sebagai prioritas. Di tahap awal, pajak ini hanya diberlakukan untuk sektor pembangkit listrik tenaga batubara dan juga Perusahaan Listrik Negara (PLN).

    “Nantinya pajak karbon sebagai penerimaan negara digunakan untuk mendukung program penurunan emisi, ” tegas Iman.

    Meski demikian, Iman dan Cenuk mengaku masih meragukan bahwa pemerintah akan benar-benar mengimplementasikan pajak karbon per 1 Juli besok. Pajak karbon ini juga berisiko akan meningkatkan harga listrik rata-rata di masyarakat. (*)

    Penulis: Deanita Nurkhalisa

    Editor: Binti Q. Masruroh

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Rapim 2022 UNAIR, Rektor: Bukti Capaian...

    Artikel Berikutnya

    KKN ITS Kembangkan Ekonomi Lokal Kopi Tosari...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Indonesia Emas, Mimpi Indah atau Nyata? Saatnya Tiga Kementerian Mulai Kolaborasi!
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!

    Ikuti Kami