SURABAYA - Budaya mudik atau pulang kampung bagi masyarakat Indonesia menjelang lebaran sudah menjadi tradisi setiap tahun. Wajar saja, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, membuat perayaan hari raya umat Islam tersebut seakan-akan menjadi perayaan nasional. Saat pergi ke kampung halaman, tentunya tak lengkap apabila tidak mengunjungi sanak saudara dan teman-teman lama.
Selain mudik, budaya yang tampak melekat dengan lebaran, yaitu bagi-bagi uang atau Tunjangan Hari Raya (THR) kepada anak-anak kecil di kampung halaman. Dalam hal ini, keponakan, sepupu, maupun saudara lainnya. Tidak aneh, sebagai perantauan, ekspektasi keluarga di kampung tentunya sangat besar. Saudaranya yang merantau dianggap telah sukses di perantauan dan akan kembali ke kampung dengan membawa uang dan harta yang banyak.
Melihat fenomena tersebut, membuat permintaan uang dengan nominal kecil, mulai dari Rp. 2.000 hingga Rp. 20.000, meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang menukarkan uang pecahan besar ke pecahan yang lebih kecil untuk memenuhi tradisi “Bagi-bagi THR” tersebut. Fenomena itu dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang beralih profesi dadakan menjadi penjaja jasa penukaran uang di pinggir jalan.
Pada Minggu (30/4/2022), Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga (UNAIR), Irham Zaki, mengomentari fenomena tersebut.
Menurutnya, budaya bagi-bagi THR merupakan hal yang baik bahkan dianjurkan karena sebagai wujud membagi kebahagian saat hari raya. Namun, baginya, hal ini boleh terlaksana dengan catatan tidak memberatkan diri hingga harus berhutang.
“(Dalam Islam, Red) hal itu disebut Takalluf, ya, atau membebani diri sendiri, tentu saja hal yang tidak boleh, ” ujar Zaki.
Mengenai fenomena jasa penukaran uang di pinggir jalan, ia mengkhawatirkan hal itu bisa menjerumuskan masyarakat dalam riba fadhl yang tentunya diharamkan oleh agama. Secara sederhana, riba fadhl merupakan kegiatan jual beli atau pertukaran barang namun dengan kadar atau takaran yang berbeda. Hal ini mengingat sistem penukaran uang tersebut di design dengan mengurangi lima hingga sepuluh persen dari uang yang ditukarkan lalu dikemas dalam kemasan plastik.
Selanjutnya, Zaki pun mengomentari bahwa fenomena ini lumrah terjadi karena jasa penukaran resmi yang disediakan bank masih tergolong sulit dijangkau. Ia mengatakan, masyarakat dapat tetap menggunakan jasa ini, namun dengan akad yang benar, yaitu ijarah atau sewa menyewa.
“Dalam akad ini, pelanggan dianggap sedang membayar jasa orang lain untuk menukarkan uangnya di bank, ” jelasnya.
Lanjut Zaki, hal tersebut bukannya tanpa risiko, pengetahuan masyarakat dalam bermuamalah secara Islami dianggap masih rendah. Hal itu, dikhawatirkan akan terjadi akad yang tidak benar dan justru semakin terjerumus dalam dosa riba.
“Dari BI mungkin bisa menjadikan penyelenggara jasa tukar itu jadi karyawan sementara dan dibayar. Jadi masyarakat bisa lebih mudah untuk dapat tukaran uang, ” ujar Koordinator Ziswaf Puspas UNAIR tersebut.
Pada akhir, ia berpesan agar masyarakat tidak lalai dengan hal-hal yang dapat mengganggu kehikmatan bulan Ramadan.
“Gara-gara sibuk mencari baju baru, tukar uang sana-sini. Akhirnya kita tidak fokus ibadah. Diharapkan kita tidak seperti itu, ” tutupnya. (*)