SURABAYA - Baru-baru ini, istilah crazy rich atau kalangan super tajir sering menjadi perbincangan di jagat media sosial (medsos). Pasalnya, mereka gemar memamerkan harta kekayaan melalui akun medsos mereka. Bahkan, ada yang tak segan menghadiahkan anak mereka pesawat terbang dan menjadikannya konten di medsos.
Rupanya Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengaku senang dengan kebiasaan pamer harta para crazy rich. Seperti yang ia sampaikan beberapa waktu lalu, “Kami senang kalau di medsos ada yang pamer mengenai account number, ‘account saya yang paling gede’. Begitu ada yang pamer ‘saya punya beberapa miliar’, salah satu petugas pajak kami bilang ‘ya nanti kita datangilah’, ” ujar Menkeu saat Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Kamis (10/3/2022), seperti dikutip dari laman Kompas.
Pakar Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Indrawati SH LLM, Selasa (22/3/2022) berpendapat bahwa rencana Sri Mulyani untuk memburu pajak para crazy rich adalah sasaran empuk bagi Kemenkeu. Sebab, pajak dari para crazy rich dapat disalurkan kepada masyarakat, terlebih di masa pandemi dan inflasi ekonomi saat ini.
Perluasan Objek Pajak
Indrawati mengatakan bahwa rencana Menteri Keuangan sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. “Pemerintah melakukan ekstensifikasi atau perluasan objek pajak. Hal ini sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan yang berlaku tanggal 29 Oktober 2021. Di mana layer dari penghasilan setiap individu atau wajib pajak ini dinaikkan karena negara perlu pembiayaan di masa pandemi, ” ujarnya.
Pakar Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Indrawati SH LLM.
Kemudian, ia menuturkan bahwa dalam harmonisasi tersebut ada perubahan layer. Crazy rich ini termasuk golongan tertinggi yaitu 35 persen layernya karena berpenghasilan di atas lima miliar per tahun.
Ia juga menjelaskan bahwa potensi pajak yang muncul adalah pajak penghasilan (PPh). PPh ini adalah jenis pajak langsung, tidak dapat diwakilkan, sehingga akan dikenakan langsung kepada mereka yang menerima penghasilan atau memiliki harta kekayaan. Di samping itu, PPh adalah kewenangan pusat, bukan daerah.
“Pemerintah istilahnya sudah mengibarkan bendera peringatan kepada para crazy rich. Negara tentu boleh memungut pajak yang bersifat memaksa sesuai dengan Pasal 23A UUD NRI 1945, ” jelas dosen Fakultas Hukum UNAIR itu.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa pajak adalah kewajiban konstitusi antara rakyat dan negara. Sehingga aksi dan implementasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya berita di media. Dengan kebijakan ini, orang-orang tidak akan sembrono memamerkan harta kekayaan mereka di media sosial.
“Ini instrumen yang luar biasa bagi Kemenkeu untuk membidik pajak para golongan super tajir, ” ucap Indrawati. (**)