SURABAYA - Pakar Hukum Energi UNAIR Indria Wahyuni berbincang dengan tim redaksi terkait kondisi transisi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, serta bagaimana hukum harus berperan untuk menyukseskannya. Wawancara ini selaras dengan sematan komitmen dari Presiden Joko Widodo bahwa bauran energi Indonesia akan 23% EBT per 2025.
Idealnya, Indria pada Selasa (15/3/2022) mengatakan bahwa hukum harus dapat mengakomodir tiga faktor dalam rencana transisi EBT. Pertama, transisi yang memperhatikan ketahanan energi, dimana harus ada sinergitas antara energi berbasis fosil dan EBT. Hal itu, lanjutnya, berarti bahwa transisi menuju EBT tidak langsung mematikan sumber energi fosil, karena arah gerak kebijakan tersebut rentan memunculkan krisis energi. Indria mencontohkan bahwa hal tersebut telah terjadi di Inggris beberapa waktu silam.
“Sinergitas ini penting dalam menciptakan faktor kedua, yakni perubahan paradigma. Paradigma dalam industri energi fosil harus diubah, dimana keuntungannya harus dapat dimanfaatkan untuk pengembangan EBT. Hal ini untuk menjawab tantangan utama dalam pengembangan EBT, yakni biaya yang sangat mahal, ” ujar alumni University of Birmingham itu.
Faktor ketiga, lanjut Indria, penjaminan partisipasi publik. Indria menekankan bahwa kunci suksesnya transisi EBT adalah partisipasi publik. Premis itu, dikarenakan bahwa rata-rata sumber EBT berada di lokasi yang terpencil. Sehingga, sambungnya, amat perlu agar masyarakat sekitar diikutsertakan dalam alur rencana pengembangannya dari hulu hingga hilir.
“Masyarakat harus memiliki peran yang kuat agar aktivitas pertambangan dan pengembangan EBT tidak merugikannya, terutama di aspek keberlanjutan lingkungan dan kulturalnya. Masyarakat harus diedukasi secara holistik terkait potensi dampak dan prospek dari proyek-proyek tersebut, ” ujar lektor FH UNAIR itu.
Selanjutnya, Indria juga mengatakan bahwa kepercayaan publik atas rencana proyek akan hadir apabila terdapat jaminan terkait sistem yang aman. Dari hal itu, akan terdapat keseimbangan dalam pengakomodiran stakeholder masyarakat, pemerintah, dan bisnis.
“Sederhananya, masyarakat harus dilihat oleh hukum sebagai subjek, bukan objek, mencatatkan beberapa tantangan yang harus dibenahi agar transisi EBT dapat ideal, ” ungkapnya.
Ia juga mengatakan bahwa Indonesia masih belum memiliki dasar hukum EBT yang kuat, mengingat RUU EBT masih belum didok oleh DPR. Hingga saat ini, sektor EBT yang memiliki dasar hukum hanyalah panas bumi via UU 21/2014. Itupun ditambahkan oleh Indria bahwa pengembangannya masih belum mencapai target, sekalipun potensi panas bumi di Indonesia sangat melimpah.
“Di sektor energi fosil seperti migas, kita masih mengacu pada UU 22/2001 yang umurnya sudah hampir 21 tahun dan berkali-kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Banyak peraturan yang sifatnya hanyalah status quo dan tumpang tindih, sehingga berbelit dan iklimnya tak ramah investasi, ” ujarnya.
Pada akhir, ia menjelaskan bahwa tantangan lain adalah ketimpangan komitmen pengembangan hukum antara energi fosil dan EBT. Hal itu, dapat direfleksikan pada golnya Perubahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang merubah banyak sekali aspek hukum minerba.
“Harus ada government willingness untuk mau berinvestasi EBT yang berjangka panjang, tak sekadar energi fosil yang berjangka pendek dan melanggengkan politik ekstraksi, ” pungkasnya. (**)