SURABAYA - Penipuan berkedok asmara dengan memalsukan jati diri pelakunya di sosial media kerap dilakukan. Salah satunya aksi catfishing yang dilakukan oleh pria bernama Simon Leviev yang mengelabui banyak wanita melalui aplikasi kencan Tinder dalam The Tinder Swindler di Netflix.
Guru Besar Studi Media Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dra Rachmah Ida M Comms PhD menjelaskan bahwa catfishing adalah perilaku menyembunyikan identitas asli di sosial media atau kerap disebut deceitful.
“Motivasi seseorang yang melakukan catfishing secara disengaja bertujuan untuk mengelabui orang lain atau tidak ingin menunjukkan identitas orientasi seksualnya secara publik, ” terang alumni angkatan pertama di Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR pada tahun 1988 itu.
Sedangkan pelaku catfishing yang tidak disengaja dikarenakan orang itu belum memahami jati dirinya. “Orang tidak sengaja melakukan catfish karena kurang percaya diri, namun pelaku memiliki niat untuk membuka identitas aslinya ketika sudah merasa nyaman dengan pasangannya, ” tutur Prof Ida kepada media pada Selasa (8/3/2022).
Menurutnya, korban catfishing paling banyak terjadi pada perempuan. Hal itu dikarenakan adanya stereotip bahwa perempuan adalah kaum lemah dan mudah dibohongi. Sehingga pelaku catfishing baik laki-laki atau perempuan lebih banyak menyasar korban perempuan.
Sementara itu, untuk mengetahui seseorang melakukan catfishing di sosmed, Prof Ida memaparkan beberapa gaya komunikasi dan gestur yang dilancarkan pelaku catfishing. Yaitu, pelaku tidak pede dan tidak konsisten menjelaskan sifat dirinya.
“Jika komunikasi semakin sering, maka pelaku akan cenderung melakukan ghosting atau terus-menerus berbohong untuk menyembunyikan identitas aslinya, ” jelasnya.
Memancing seseorang untuk membuka identitasnya, sambungnya, melalui beberapa topik pembicaraan (hobi atau musik) adalah cara tepat terhindar dari perilaku catfishing. “Pastikan untuk mencari identitas lawan bicara kita di google atau open sea, ” jelasnya. (*)