SURABAYA - Surat Edaran (SE) Kementerian Agama No. 05 tahun 2022 belakangan menjadi sorotan publik tentang aturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musollah. Kebijakan itu diterbitkan dalam rangka menjaga toleransi beragama dan keharmonisan bermasyarakat. Alih-alih mendapatkan dukungan, keputusan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tersebut justru menuai pro-kontra dari masyarakat.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Sosiologi UNAIR, Prof Dr Musta’in Mashud MSi mengatakan pendekatan regulasi dalam menyelesaikan sebuah masalah adalah langkah yang terlalu pragmatis dan tidak efektif. Bahkan, alih-alih menyelesaikan masalah, bisa jadi justru menimbulkan masalah baru. Menurutnya hal itu terjadi salah satunya karena rendahnya penegakan hukum di Indonesia.
“Melalui aturan yang ada hukumannya saja banyak dilanggar, apalagi hanya dengan himbauan seperti SE No. 05 2022 ini. Jadi jangan seolah-olah semua permasalahan bisa diselesaikan dengan menerbitkan aturan, ” ungkap dosen kelahiran Tulungagung tersebut, Selasa (1/3/2022).
Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat akan bagaimana hidup dalam masyarakat yang plural juga menjadi faktor dalam permasalahan ini. Prof Musta’in menilai bahwa tidak semua masyarakat memiliki kesadaran dan pemahaman akan toleransi beragama. Sehingga, ia merasa bahwa pendekatan edukasi dan pendampingan adalah hal yang harus dilakukan.
“Tidak semua masyarakat kita sudah memiliki pemikiran yang rasional, objektif dan paham akan bagaimana kehidupan bermasyarakat yang plural, ” ungkapnya.
Sehingga, sambungnya, perlu adanya langkah nyata untuk menyadarkan masyarakat serta membangkitkan New Social Movement (Gerakan Sosial Baru). “yakni gerakan sosial yang institusional, teratur, banyak manfaatnya dan melembaga dari dalam, ” tandasnya.
Menurutnya, penguatan kelembagaan masjid saat ini adalah upaya yang paling rasional dan terukur untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam hal ini, Prof Mustain menekankan peran vital seorang takmir (pengelola masjid/musala, Red) dalam melakukan manajemen masjid dan musala termasuk perihal adzan. Oleh karenanya, takmir harus memiliki pemikiran rasional dan pemahaman agama yang matang. Sehingga mampu menyikapi keberadaan masyarakat yang majemuk.
“Kita bisa lakukan pendampingan dan memberikan pemahaman kepada para takmir mulai dari makna syiar agama, pentingnya toleransi, substansi adzan dan sebagainya dan dari situ baru nanti kita sampaikan pedoman penggunaan pengeras suara, ” jelasnya.
Mengakhiri pemaparannya, Prof Mustain berharap melalui langkah itu para takmir bisa lebih profesional dalam mengelola masjid dan musala. Sehingga, segala aktivitas masjid bisa menjadi pionir dan simbol yang menunjukkan toleransi keberagaman agama.
“Mari kita jadikan masjid tidak hanya bagus dari segi bangunan namun juga aktivitas beragama-nya, ” ajaknya. (*)