Pakar Sosiologi UNAIR Angkat Bicara Soal Keberadaan Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

    Pakar Sosiologi UNAIR Angkat Bicara Soal Keberadaan Kerangkeng Manusia Bupati Langkat

    SURABAYA - Keberadaan kerangkeng manusia  di rumah pribadi Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin menjadi sorotan publik, tak terkecuali Guru Besar Sosiologi UNAIR. Pasalnya, fenomena yang berlangsung selama 10 tahun terakhir itu baru saja terungkap setelah KPK melakukan penggeledahan. Kerangkeng tersebut berkedok rehabilitasi tetapi juga melibatkan kekerasan dan perbudakan. 

    Prof Bagong Suyanto MSi menilai Kerangkeng manusia adalah bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

    “Kalau dalihnya untuk rehabilitasi, jangan diperlakukan sebagai terdakwa yang dihukum, tetapi harus diperlakukan sebagai korban, ’’ ucapnya.

    Dosen kelahiran Nganjuk itu mengatakan bahwa rehabilitasi sosial narkoba bertujuan untuk memulihkan manusia dari dampak buruk penyalahgunaan baik secara mental maupun sosial. Ia juga berpendapat bahwa korban rehabilitasi sosial narkoba semestinya dilakukan oleh ahlinya bukan tergantung jabatannya.

    “Fakta bahwa ada kerangkeng manusia itu jelas salah, karena bukan wewenang bupati. Kalau dilakukan bukan oleh ahlinya, secara sosiologi itu hal yang menyimpang, ’’ papar Prof Bagong, Senin (7/2/2022).

    Berkaitan dengan hal itu, setiap tindakan atau perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dianggap sebagai bentuk penyimpangan.  

    “Kondisi dikerangkeng dengan fasilitas apapun tetap tidak manusiawi. Itu melanggar kebebasan, kecuali divonis pengadilan bersalah, ’’ imbuhnya.

    Dilansir dari Tempo, selain kerangkeng manusia, KPK juga menemukan adanya  perbudakan yang dilakukan oleh Bupati Langkat kepada korban untuk menggarap kebun sawit miliknya. Korban juga diketahui sering mengalami penyiksaan hingga berdarah dan lebam di tubuh mereka.

    Meskipun ada yang mengaku bahwa beberapa korban yang dikerangkeng itu mendapat izin dari keluarga. Namun, Guru Besar Sosiologi UNAIR menganggap izin tersebut bisa saja diberikan karena keluarganya tersubordinasi dengan kekuasaan dan tidak berani untuk menguak isu ini.

    “Kegiatan kerangkeng semacam ini bisa berdampak sosial bagi korban, yakni munculnya trauma dan stigma, ” ujar Prof Bagong. (*)

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Universitas Brawijaya, Perguruan Tinggi...

    Artikel Berikutnya

    Pengurus LKM FISIP Periode 2022 Resmi Dilantik

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami