SURABAYA - Kasus Desa Wadas yang menyita perhatian masyarakat tidak lepas dari konflik lingkungan yang terjadi. Desa Wadas yang terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah merupakan lokasi lahan yang akan dijadikan penambangan batuan andesit sebagai bahan material Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener. Kegiatan pertambangan itu ditentang oleh warga Desa Wadas, sehingga terjadi konflik antara warga dengan aparat bersenjata dan pemerintah.
Departemen Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) pada Rabu (2/3/2022), mengadakan webinar series bertema “Pengadaan Tanah untuk Usaha Pertambangan dalam rangka Pembangunan Strategis Nasional: Tinjauan terhadap Peristiwa Wadas”. Webinar yang diselenggarakan atas kerja sama dengan Pusat Studi Energi Baru dan Terbarukan serta Pusat Kajian Hukum Agraria FH UNAIR itu, dihadiri oleh empat pembicara yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Pembicara terakhir pada webinar tersebut, Dr Suparto Wijoyo SH MHum, ahli hukum lingkungan yang juga merupakan dosen hukum lingkungan FH UNAIR memaparkan bahwa pemerintah seharusnya melindungi segenap bangsa Indonesia. Ia mengutip Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 di mana bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
“Menambang batuan andesit di Wadas untuk material pembangunan mestinya bisa mensejahterakan rakyat. Ini adalah cita dasar konstitusional bahwa pembangunan dan pertambangan itu adalah untuk memakmurkan rakyat, ” jelasnya.
Namun, sambungnya, apa yang terjadi di Desa Wadas bukanlah pembangunan yang mensejahterakan masyarakat. Menurutnya, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dilakukan belum maksimal. Pertambangan di Desa Wadas dinilai dapat merusak ekosistem seperti mata air yang terancam dan tatanan lingkungan yang terganggu.
Suparto menambahkan bahwa kasus seperti itu tidak hanya terjadi di Desa Wadas. Kasus-kasus pertambangan di Sulawesi, Riau, Papua, dan berbagai daerah lain di Indonesia memiliki akar masalah yang serupa dengan Desa Wadas.
“Apakah itu izin, apakah itu urusan dokumen AMDAL, (pemerintah seharusnya, red) memberi ruang (untuk partisipasi masyarakat, red). Kalau ini tidak ditempuh, itulah yang dinamakan cacat prosedur, ” terangnya.
Pada akhir, Suparto menegaskan bahwa negara tidak boleh lelah untuk mendengar suara rakyat karena hal tersebut merupakan bentuk demokrasi. Menurutnya, masalah utama kasus Desa Wadas ada pada aspek legalitas. Untuk menyiasati permasalahan tersebut, sambungnya, pemerintah perlu lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengurus perizinan dan dokumen pertambangan di Desa Wadas. (*)
Penulis : Dewi Yugi Arti
Editor : Nuri Hermawan