Gelar Diskusi, BEM Fakultas Hukum UNAIR Kupas Dampak Revisi UU KPK

    Gelar Diskusi, BEM Fakultas Hukum UNAIR Kupas Dampak Revisi UU KPK
    Kurnia Ramadhan SH, peneliti ICW, ketika mengisi forum diskusi BEM FH UNAIR. (sumber foto: ss zoom).

    SURABAYA - Persoalan korupsi masih menjadi polemik di Indonesia. Belum lagi peraturan perundang-undangan yang masih bermasalah. Karenanya, BEM Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga menggelar forum diskusi React Legal Bootcamp, yang khusus membahas dampak revisi Undang-Undang KPK.

    Gelaran pada Rabu (20/7/2022), menghadirkan Kurnia Ramadhan SH, anggota divisi hukum ICW, sebagai narasumber. Kurnia mengatakan bahwa sebenarnya program antikorupsi merupakan poin keempat Nawacita yang dulu diusung Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya.

    “Ini menjadikan harapan dari masyarakat begitu besar dititipkan pada pundak Pak Jokowi kala itu, ” ujar Kurnia.

    Sayangnya, poin dalam nawacita tersebut berhenti sebagai janji politik semata. Kurnia menambahkan, antikorupsi menjadi tidak lebih dari sekadar jargon politik yang dimanfaatkan oleh pejabat untuk meraup suara demi menduduki posisi tertentu.

    “Delapan tahun Pak Jokowi sudah memimpin, dalam isu pemberantasan korupsi yang ada bukan maju tapi malah mundur, ” imbuhnya. 

    Ia berpendapat bahwa revisi UU KPK yang ada malah memperlemah KPK dan memperlambat kinerja mereka. Runtuhnya independensi KPK dan mismanagement fungsi pengawasan turut serta memperlambat proses penindakan kasus korupsi.

    Hal ini dibuktikan dengan menurunnya indeks persepsi korupsi Indonesia dari tahun 2019 ke 2020. Selain itu, menurunnya jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dari tahun ke tahun juga membuktikan hal ini.  Dari tiga puluh OTT pada 2018, menurun menjadi 21 pada 2019, dan turun menjadi tujuh dan lima OTT pada 2020 dan 2021.

    Kurnia juga menyebutkan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) yang dimiliki Indonesia hendaknya direvisi. Hal ini karena UU TIPIKOR Indonesia masih mengacu pada UU nomor 20 tahun 2001.

    “Praktis sudah 21 tahun UU TIPIKOR kita tidak pernah direvisi. Yang dibutuhkan saat ini bukan revisi undang-undang KPK. Tapi revisilah undang-undang TIPIKOR, ” terang peneliti Indonesia Corruption Watch ini.

    Selain itu, terdapat hambatan kultural dalam lingkungan pejabat Indonesia. Seorang pejabat pemerintahan memiliki kecenderungan untuk “melindungi” koleganya yang melakukan korupsi. Aparat penegak hukum seperti jaksa dan penyidik KPK juga dipenuhi oleh oknum-oknum yang justru melakukan perbuatan korupsi itu sendiri.

    “Itulah realita penegakan hukum hari ini. Maka dari itu PR kita masih sangat panjang. Kritik itu sangat dibutuhkan hari ini. Kritik adalah hak kita semua, termasuk aspek pemberantasan korupsi. Tentu kita tidak bisa diam KPK terus dipreteli, ” pungkas Kurnia.

    Penulis: Ghulam Phasa P.

    Editor: Nuri Hermawan

    surabaya
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Mahasiswa KKN UNAIR Bantu Wujudkan Desa...

    Artikel Berikutnya

    KKN ITS Kembangkan Ekonomi Lokal Kopi Tosari...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami