Pakar Kedokteran Hewan Beri Solusi Kenaikan Harga Daging Sapi

    Pakar Kedokteran Hewan Beri Solusi Kenaikan Harga Daging Sapi

    SURABAYA - Pakar Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof Dr Budi Utomo drh Msi angkat bicara soal lonjakan harga daging sapi. Ia menyatakan meroketnya harga daging sapi di Indonesia dipicu oleh faktor kebijakan Australia yang mengurangi ekspor sapi bakalan (sapi hidup) ke Indonesia karena masih dalam pemulihan populasi. Sementara sapi di Indonesia sedang terserang wabah Lumpy Skin Disease (LSD).

    “Penyakit itu ditemukan di Provinsi Riau, yang sebelumnya terjadi di negara Asia termasuk Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja, ’’ papar Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UNAIR pada Selasa (22/3/2022).

    Guru Besar itu menerangkan tanda klinis Lumpy skin disease bermacam-macam. Di antaranya, lesi kulit, demam, pengurangan nafsu makan hingga kematian pada sapi. Penularannya melalui vektor serangga (nyamuk dan kutu) sehingga sangat rentan menyerang ternak lain. 

    “Jangan sampai vektor penyakit ini terikut oleh kendaraan pengangkut ternak. Utamanya kapal ternak yang dipakai buat mengangkut ternak dari dan ke Australia, ” terangnya.

    Pakar Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof Dr Budi Utomo drh Msi. (Foto: Doakumentasi Pribadi).

    Di samping itu, ketidakcukupan daging sapi juga karena kurangnya pengetahuan peternak dan inseminator. Pasalnya ketersediaan indukan sapi masih banyak. Akan tetapi inseminasi buatan atau kawin suntik juga harus digencarkan untuk memperbanyak anakan.

    Dalam hal ini, komitmen pemerintah dalam mendongkrak populasi sapi di Indonesia melalui Program Upaya Khusus Sapi Induk Wajib bunting (UPSUS SIWAB). Namun, Prof Budi menilai program itu belum berjalan dengan lancar. Didapati masih banyak yang mengalami gangguan reproduksi. 

    Prof Budi menyebut gangguan reproduksi yang kerap terjadi yaitu hipofungsi ovarium. Artinya, suatu kejadian ovarium mengalami penurunan fungsi sehingga tidak dapat terjadi ovulasi. 

    “Hipofungsi menyebabkan tidak terjadinya ovulasi sehingga berahi tidak terjadi dan ujungnya ternak tidak dapat menghasilkan pedet (anakan sapi), ’’ jelas pakar FKH.

    Dari dua penyebab di atas, Prof Budi berharap adanya upaya peningkatan kewaspadaan. Seperti halnya memperketat biosecurity yakni tindakan pertahanan pertama, pencegahan, dan pengendalian masuknya wabah agar aman. 

    “Terutama bagi negara-negara yang terdeteksi penyakit lumpy skin maupun negara-negara sekitarnya. Selain itu juga memperketat rantai pasar yang sangat panjang dari peternak hingga konsumen akhir, ’’ tuturnya.

    Selanjutnya, untuk mencapai swasembada daging, Guru Besar FKH UNAIR meminta pemerintah mengeluarkan regulasi terkait sapi lokal.  Sementara pihak akademisi dan Balai Penelitian Pengembangan (Balitbang) bisa mengembangkan sapi lokal unggul. Kemudian diperkuat oleh pihak swasta terkait pemberdayaan korporasi peternakan sapi lokal di  daerah-daerah. 

    Ia mengatakan pemenuhan daging sapi lokal Indonesia dapat tercapai jika ketiga pihak tersebut berkolaborasi dengan baik. “Sehingga tidak ada lagi ketergantungan impor sapi bakalan maupun daging luar negeri, ’’ katanya.(*)

    Penulis: Viradyah Lulut Santosa

    Editor: Khefti Al Mawalia

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Mesin Inovasi Tim KKN ITS Mengakselerasi...

    Artikel Berikutnya

    FIB Menjadi Pusat Ujian DELF di Indonesia

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami