Pakar UNAIR: Tradisi Lebaran Bukan Sekadar Kumpul Keluarga

    Pakar UNAIR: Tradisi Lebaran Bukan Sekadar Kumpul Keluarga
    Caption: Puji Karyanto SS MHum, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR

    SURABAYA - Hari raya Idulfitri atau yang dikenal juga sebagai lebaran biasanya dimanfaatkan sebagai ajang kumpul keluarga. Sebagian besar orang rela menempuh jarak jauh agar bisa merasakan momen lebaran bersama keluarga. 

    Menurut Puji Karyanto SS MHum tradisi lebaran tidak hanya sebagai ajang berkumpul dengan keluarga besar, namun juga untuk mengenal lebih dekat semua kerabat.

    Momen lebaran selain untuk melepas rasa rindu pada keluarga juga dimanfaatkan untuk saling silaturahmi. Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) itu menilai tradisi lebaran sebagai ajang kumpul keluarga merupakan tradisi yang sangat bagus. Ia juga menyebut bahwa tradisi tersebut adalah tradisi khas Nusantara.

    “Kita tahu salah satu konsep kekerabatan yang ada di Nusantara itu kan, rasa guyub, dan halalbihalal itu sebenarnya merupakan ekspresi rasa keguyuban antar kerabat yang bertemu saat momentum lebaran, ” tutur Puji Karyanto, Senin (2/5/2022).

    Mengalami Pergeseran

    Selanjutnya, dosen yang akrab disapa Puji tersebut mengungkapkan tradisi lebaran yang identik dengan silaturahmi telah mengalami pergeseran makna. 

    Awalnya, momen lebaran dimanfaatkan untuk berkumpul dengan keluarga, mengunjungi kerabat, dan untuk mengenal sanak saudara. 

    Hal itu, lanjutnya, memiliki banyak makna. Misalnya untuk menghindari perkawinan antar kerabat yang masih terlalu dekat. “Awalnya sebenarnya kan unjung-unjung itu bukan sekadar saling sapa tetapi juga kalau orang Jawa mengatakan ngambah bature, ” tuturnya. 

    Lebih lanjut, Puji menuturkan tradisi lebaran silaturahmi atau unjung-unjung yang tadinya sebagai tradisi keluarga telah diperluas dan diadopsi oleh instansi, baik pemerintah atau swasta dengan konsep halalbihalal. Berganti menjadi halalbihalal, lanjutnya, kini cenderung dimaknai dengan berkumpulnya banyak orang di sebuah tempat untuk saling bermaaf-maafan.

    “Jangan-jangan itu akan berhenti di salam-salaman saja tapi sebenarnya siapa yang salaman juga tidak kenal, karena sangat berbeda jika berkunjung ke rumah, silaturahmi, dengan keluarga terbatas, ” tuturnya.

    Kemudian, dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia (Basasindo) itu mengungkapkan agar momen lebaran lebih intens sebaiknya tidak membuat acara keluarga yang terlalu besar. 

    Hal itu lantaran silaturahmi saat momen lebaran tidak hanya untuk bersalaman tetapi juga berkomunikasi dan membangun hubungan baik antar keluarga. Ia juga menyebut, halalbihalal bukan sekadar menggugurkan kewajiban tetapi untuk merekatkan kembali apa yang sudah renggang. 

    “Jadi kalau terlalu besar situasinya, terlalu banyak mereka-mereka yang harus bertemu, ya itu yang terjadi pasti semiotika nama, semiotika wajah orang yang bersalaman sudah tidak tahu, ” ungkapnya. (*)

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    Pakar UNAIR Bagikan Tips Menjaga Pola Makan...

    Artikel Berikutnya

    Mengenal Sejarah Halalbihalal, Tradisi Lebaran...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Mengenal Lebih Dekat Koperasi
    Hendri Kampai: Jika Rp.1000 per Hari Duit Rakyat untuk Kesehatan, Kira-kira Cukup Gak?
    Hendri Kampai: Ujian Nasional, Standar Kompetensi Minimal Siswa dan Cerminan Keberhasilan Guru
    Hendri Kampai: Swasembada Pangan, Menjadi Tuan Rumah di Ladang Sendiri!
    Hidayat Kampai : Menelusuri Dunia Kecerdasan Buatan untuk Menyusun Karya Ilmiah

    Ikuti Kami