SURABAYA - Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hadir sebagai usaha pemerintah mencapai target Universal Health Coverage (UHC). Akan tetapi, nampaknya, penerapan JKN dijadikan sebagai syarat administrasi layanan publik mengundang dampak negatif, khususnya di bidang ekonomi dan kestabilan politik nasional.
Sisi Positif dan Negatif JKN
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Elia Mustikasari Dra., M.Si., Ak, CA, CMA, BKP, BAK berpendapat bahwa ada sisi positif dan negatif JKN. Positif karena konsep JKN bagus, tujuannya meng-cover biaya kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan membayar iuran yang relatif kecil.
Sayangnya, konsep yang bagus ini tidak dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam. Iuran JKN tidak sesuai dengan daya pikul masyarakat Indonesia. Ditambah lagi, penerapan peraturan JKN di lapangan berbeda. Selain itu, banyak komplain masyarakat terhadap pelayanan JKN (BPJS Kesehatan) yang tidak direspon cepat walaupun telah disediakan hotline keluhan peserta BPJS.
Analisis Singkat dan Dampak Negatif
Elia berpendapat bahwa Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 yang sasarannya ke arah pengawas, pengurus, dan anggota koperasi, serta pelaku UKM yang diharapkan akan meningkatkan UHC 15 persen dari sekitar 83 persen ke 98 persen ini kurang tepat.
Berdasarkan data Kemenkop UKM bulan Maret 2021, jumlah UKM mencapai 64, 2 juta atau sekitar 23, 5 persen jumlah penduduk Indonesia. “Artinya, bisa diartikan bahwa 17 persen penduduk yang belum mengikuti BPJS Kesehatan adalah dari kalangan UKM dan penduduk miskin yang jumlahnya per September 2021 sekitar 9, 71 persen, ” ucap Elia, Kamis (10/3/2022).
Jika penghasilan UKM ini dikaitkan dengan perhitungan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk WPDN status K/3 sebesar 72 juta/tahun atau 6 juta per bulan, ada berapa persen pelaku UKM ini yang berpenghasilan di atas 6 juta perbulan? Pada umumnya, kata Elia, pelaku UKM ini berpenghasilan di bawah UMR. Tentunya hal ini perlu dilakukan survey lebih lanjut.
“Jadi bisa ditarik benang merah bahwa ketidakpatuhan masyarakat untuk mengikuti program JKN disebabkan karena ketidakmampuan ekonomi dan pelayanan kesehatan di lapangan terhadap masyarakat yang menggunakan BPJS yang tidak seragam belum baik, ” ucap Elia.
Elia menilai, jika JKN dipaksakan sebagai prasyarat berbagai urusan kependudukan, kemungkinan ketidakmampuan ekonomi masyarakat ini akan menyebabkan ketidakpatuhan massal yang mengganggu kestabilan politik. Tentu saja, ha; itu berpengaruh ke pendapatan daerah, khususnya PKB dan Pendapatan Bukan Pajak yang berkaitan dengan semua dokumen kependudukan.
Mitigasi Pemerintah
Menurut Elia, pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengenal akar permasalahan (root causes) dari ketidakpatuhan masyarakat. “Lakukan update data, survei kepuasan pelanggan, hotline yang fast respon, dan bentuk pos-pos tanggap cepat keluhan pelayanan BPJS kesehatan setidaknya satu per kabupaten/kota, ” jelas Elia.
“Iuran JKN boleh saja dibagi kelas-kelas. Tetapi untuk masyarakat kelas bawah harus mendapat subsidi dari pemerintah, ” jelas Elia. Hal ini, lanjutnya, sesuai dengan Pasal 34 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
Guna merealisasikan hal tersebut, konsep bagi beban antara pemerintah pusat dan daerah dapat dilaksanakan. Selain itu, Elia berpendapat bahwa pemerintah bisa menggandeng Badan Amil Zakat guna menuntaskan permasalahan ini.
Elia menyarankan agar pemerintah meninjau kembali Inpres Nomor 1 Tahun 2022. “Inpres ini tujuannya baik, tetapi tergesa-gesa. Pemerintah harus terlebih dahulu membenahi semua hal, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan sebelum Inpres ini dilaksanakan, ” pungkasnya. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh