SURABAYA - Angka kejadian baby blues di Indonesia masih terbilang tinggi. Melansir dari laman Kompas.com, sebanyak 4 dari 5 ibu yang baru melahirkan mengalami baby blues.
Pakar Konseling dan Psikologi Keluarga Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Dr Nurul Hartini SPsi MKes menyebut bahwa perlu ada tinjauan lebih lanjut terkait faktor penyebab baby blues. Sebab, banyak faktor yang dapat menyebabkan baby blues.
“Perlu ada penelaahan secara komprehensif mengenai penyebab baby blues. Kondisi psikologis ibu dari sejak sebelum menikah hingga saat melahirkan, harus menjadi perhatian bagi lingkungan sekitarnya. Jika memang ada indikasi resiko baby blues, maka suami atau pendamping lain dapat segera berkonsultasi dengan ahlinya, ” terang Prof Nurul.
Baby blues biasanya muncul pada masa awal pasca seorang ibu melahirkan. Gejala umumnya, yakni adanya perasaan sedih atau khawatir. Pada mayoritas kasus, baby blues akan hilang dengan sendirinya setelah bayi berusia 14 hari.
Biasanya terkait dengan ibu yang berisiko tinggi mengalami baby blues, dokter akan merekomendasikan suami mendukung penuh istrinya. Artinya, suami akan disarankan untuk menemani istrinya, terutama saat pasca-melahirkan. Karena itu, Prof Nurul juga sangat mendukung adanya usulan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik (DPR) Indonesia.
Jika telah ada pengesahan dari RUU KIA tersebut, maka Prof Nurul menuturkan bahwa hal itu menjadi sarana kebijakan yang mendukung adanya kesejahteraan keluarga. RUU KIA sebagai salah satu penguat penurunan angka baby blues.
“RUU tersebut kan dibuat, salah satunya agar suami dapat menemani istrinya pasca melahirkan. Jadi hal ini baik secara psikologi keluarga. Suami yang menemani istrinya terutama di saat pasca melahirkan, menjadi kekuatan tersendiri secara psikologis dan turut membantu mencegah kejadian baby blues serta meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, ” jelas Prof Nurul, Jum'at (22/7/2022).
Manfaat Lain RUU KIA
Cuti khusus bagi suami tersebut memiliki peluang agar figur seorang ayah dapat lebih “hadir” di tengah keluarga. Terlebih bagi pasangan suami dan istri yang menjalani long distance marriage (kehidupan pernikahan jarak jauh, Red).
“Namun perlu diingat juga bahwa yang terpenting bukan sekedar kehadiran ayah secara fisik. Ayah harus hadir juga secara psikologis, ekonomi, sosial dan spiritual. Jika sudah demikian maka seorang ayah telah betul-betul melaksanakan tugas dan fungsinya secara sempurna, ” ujar Prof Nurul.
Penulis: Fauzia Gadis Widyanti
Editor: Feri Fenoria