SURABAYA - Hingga saat ini, sebanyak 97 anggota polisi telah diperiksa untuk memastikan keterlibatannya dalam skenario obstruction of justice atau upaya menutupi kebenaran dalam kasus kematian Brigadir Joshua atau yang biasa dipanggil Brigadir J. Berkaitan dengan hal itu, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Sapta Aprilianto SH MH LLM menjelaskan konsep obstruction of justice hingga ancaman pidananya.
Obstruction of Justice dalam Pasal 221 KUHP
Sapta menjelaskan bahwa dalam konteks kepolisian, pelanggaran etik belum tentu pelanggaran hukum. Tetapi, pelanggaran hukum pasti pelanggaran etik.
“Oleh karena itu, perlu dipastikan apakah mereka (anggota polisi yang diperiksa, Red) itu memang mengetahui (kebenaran kasus kematian Brigadir J, Red) dan membuat skenario berbeda dari kebenarannya, atau apakah secara formil mereka memang diharuskan mem-publish suatu berita, dimana berita itu dapat dari atasannya atau bawahannya, sehingga ia mem-publish berita sebagaimana diberitakan awal (polisi tembak polisi, Red), ” terangnya pada Rabu (31/8/2022).
Selanjutnya, Sapta menjelaskan bahwa jika anggota polisi yang diperiksa tersebut terbukti mengetahui kebenaran kasus kematian Brigadir J dan ikut serta membuat skenario yang berbeda dari kebenarannya, maka ia telah melakukan obstruction of justice. Dalam hal ini, obstruction of justice diatur dalam Pasal 221 KUHP ayat (1) dan (2).
Lebih lanjut, Sapta juga memaparkan maksud kesengajaan yang ada dalam Pasal 221 KUHP. “Kesengajaan yang dimaksud atau ada di dalam Pasal 221 KUHP ayat (1) maupun (2) adalah kesengajaan yang sifatnya luas. Ada kesengajaan sebagai maksud, sebagai kepastian, sebagai kemungkinan. Sehingga, sulit bagi mereka untuk berdalih atau lepas dari Pasal 221 KUHP, ” jelasnya.
Sapta Aprilianto SH MH LLM
Akan tetapi, Sapta menegaskan bahwa maksud kesengajaan dalam Pasal 221 KUHP adalah kesengajaan aktif. Sehingga jika ada anggota polisi yang mengetahui kebenaran kasus kematian Brigadir J, tetapi tidak melakukan apapun dengan maksud menyembunyikan kebenaran, maka ia tidak bisa disangkakan dengan Pasal 221 KUHP.
Ante Factum dan Post Factum
Sapta juga menjelaskan tentang 97 anggota kepolisian yang diperiksa dan disangkakan dengan Pasal 221 KUHP bukan Pasal 340 KUHP. Hanya kelima tersangka yang disangkakan dengan Pasal 340 KUHP yaitu eks Irjen Ferdy Sambo, Bharada Richared Eliezer atau Bharada E, Brigadir Ricky Rizal, Kuat Maaruf, dan Putri Candrawati.
Sebab, 97 anggota kepolisian yang diperiksa ini diduga obstruction of justice yang berarti membantu menyembunyikan kebenaran setelah peristiwa pidana, bukanlah merencanakan peristiwa pidana itu sendiri. “Saya minta untuk hati-hati mengingat adanya ante factum dan post factum, ” terangnya.
Penistaan Hukum Acara Pidana
“Bukan cuma pelanggaran, ini penistaan hukum acara pidana, ” jelas Sapta. Menurutnya, obstruction of justice dalam kasus kematian Brigadir J sudah termasuk dalam penistaan hukum acara pidana bahkan pelanggaran HAM. Hal ini dikarenakan setelah dipastikan ada peristiwa pidana yaitu matinya seseorang, tersangka tidak segera ditetapkan bahkan ditukar dan barang bukti dilenyapkan. (*)
Penulis : Tristania Faisa Adam
Editor : Binti Q Masruroh