SURABAYA - Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR menggelar Webinar Hari Kemerdekaan yang mengupas potensi terlanggarnya hak sipil dan politik akibat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Minggu pagi (21/8/2022). Pakar HAM UGM Dr Herlambang P. Wiratraman dihadirkan untuk menjadi narasumber pada diskusi tersebut.
Herlambang menuturkan bahwa kehadiran RKUHP ini tidak dipisahkan dari tendensi politik otoritarian yang mewarnai sektor peraturan perundang-undangan di Indonesia kiwari. Mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK, dan UU Cipta Kerja. Dimana secara formil, hukum dibentuk dengan ugal-ugalan dan nir-partisipasi, serta substansinya yang represif dan berpotensi melanggar HAM. Ia menambahkan bahwa pengesahan RKUHP akan menjadi penyempurna dalam kembalinya otoritarianisme di Indonesia.
“Kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan akademik bisa diterabas semua disini. Argumen nilai ketimuran terkait penjagaan martabat presiden dan lembaga negara itu bukan argumen hukum, jadi tidak bisa dijadikan dalih untuk membatasi kebebasan-kebebasan ini. Pasal penghinaan presiden dan kekuasaan umum itu tidak sesuai dengan mekanisme HAM internasional dan doktrin-doktrin pembatasannya, ” ujar mantan dosen FH UNAIR itu.
Herlambang juga menolak premis perbedaan antara kritik dan penghinaan untuk menjustifikasi pasal-pasal RKUHP yang kontroversial. Pembedaan tersebut tak dikenal dalam perspektif HAM, yang dikenal adalah apakah suatu ekspresi itu sah (legitimate) atau tidak dengan parameter pakem dalam hukum HAM internasional. Ia menyayangkan bahwa hukum HAM internasional dan doktrin-doktrin hukumnya itu diabaikan dalam formulasi legislasi di Indonesia.
Karakteristik represif dari RKUHP menskeptiskan Herlambang terhadap dalih bahwa rancangan legislasi ini untuk dekolonisasi. Spesifiknya adalah terkait kembalinya pasal penghinaan presiden yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Sejarah pasal penghinaan presiden ini adalah ia diselundupkan ke KUHP Hindia Belanda yang sekarang kita pakai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz. Eksistensi pasal ini dulu diperuntukkan agar pemerintah Belanda dapat merepresi gerakan kemerdekaan Indonesia dengan pasal penghinaan pada penguasa. Jadi ini dekolonisasi dari mana? Sejatinya kembalinya pasal ini adalah menghidupkan kembali pikiran-pikiran van Heutsz, ” ujar alumni Leiden University itu.
Penghidupan pasal-pasal represif yang dipaparkan oleh Herlambang juga termanifestasi pada delik pers yang muncul pada Pasal 598 RKUHP, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa model hukum seperti ini sudah usang dan sering disalahgunakan untuk memberangus kebebasan pers. Mekanisme pengawasan kinerja jurnalistik sudah dilakukan dengan cara-cara yang sebisa mungkin tidak menyentuh ranah pidana.
“Pasal-pasal penghinaan tersebut pasti juga akan berimplikasi pada kebebasan akademik di perguruan tinggi. Terus terkait pasal-pasal komunisme, dimana penggunaannya seringkali disalahgunakan untuk membubarkan pembahasan terkait komunisme di kampus, yang seharusnya bebas, ” tegas Dewan Pengarah KIKA itu.
Herlambang menutup materinya dengan mengatakan bahwa arah gerak RKUHP seharusnya diarahkan ke dua hal untuk lebih menjamin kebebasan sipil dan politik masyarakat Indonesia. Pertama adalah dekriminalisasi, dimana suatu tindakan tidak lagi diatur sebagai tindak pidana. Kedua adalah depenalisasi, dimana suatu tindak pidana diarahkan untuk tidak dihukum dengan pidana penjara.
“Namun, di RKUHP ini dihantam semua dengan rata dengan rumusan pasal-pasal yang umum. Padahal seharusnya, bisa lagi dispesifikkan agar lebih menjamin kebebasan berpendapat. Tendensi otoritarianisme ini dipertahankan dan disempurnakan untuk merepresi suara-suara kritik, ” tutupnya.
Penulis: Pradnya Wicaksana
Editor: Nuri Hermawan